a fictional character. 2016. Powered by Blogger.
  • Home
  • Contact
facebook linkedin twitter youtube

lin's mind palace

    • Mi Familia
    • Purwokerto
    • Lifestyle
    • travel
    • food
    source: tumblr

    "Berteman dengan orang-orang toleran itu menyenangkan.

    Mereka memahami bahwa Tuhan itu bersifat pribadi, bukan barang obralan. Hubungan dengan sesama manusia adalah hubungan sosial, bukan spiritual.

    Tuhan tidak perlu diteriakkan, karena Dia hadir dalam bisikan-bisikan lirih di sudut sepi ruangan. Dia sulit ditemui dalam gegap gempitanya cacian. Tuhan itu Maha Penyayang, bukan dewa perang.

    Berteman dengan orang-orang toleran itu menyenangkan.

    Mereka tidak peduli apakah mereka sesendok kopi atau dua sendok gula. Buat mereka, kenikmatan itu hanya ketika semuanya seimbang".



    -dari instagram stori alex, gatau nih buku apa. just....ah heart warming.
    Continue Reading
    platt and mr. epps. pic: google

    Wah, ini tulisan pertama saya mengenai film! *salto*. jadi gini, tempo hari saya baru aja kelar nonton 12 Years of Slave (ini udah 2017, please lin). Film keluaran tahun 2013 ini sempat masuk nominasi dan menangin beberapa ajang bergengsi kayak Academy Award, Golden Globe dan juga BAFTA. Film ini emang patut diacungin jempol gan. Pesannya nyampe banget!

    Film ini based on true story dengan latar tahun 1840an,  yang mengangkat kisah seorang kulit hitam bernama Solomon Northup. Solomon ini freeman. Dia cerdas, golongan mampu, bertalenta sebagai violinis, punya satu istri dua anak. Karna kemampuan bermain biolanya yoi banget, satu hari dia diajakin kerja jadi musisi sirkus gitu sama dua orang kulit putih, Brown dan Hamilton.

    Disinilah perjalanan Solomon dimulai. Pekerjaan yang ditawarin sama Brown dan Hamilton itu ternyata perangkap buat dia jadi budak negro. Dia gak ngerti apa-apa, bahkan identitasnya diganti: namanya Platt, bukan freeman, dan negro pelarian dari Georgia. Dia juga dicambukin, dihajar habis-habisan.

    Perjalanan panjang Washington-New Orleans (istilah zaman dulu utara-selatan) membawa Platt ke satu tempat perbudakan yang diprakarsai orang-orang kulit putih dan pembelinya pun tuan-tuan kulit putih. Dia dijual disana. Yang bikin saya seneng adalah tuan Platt yang pertama, William Ford, diperanin sama abang Benedict Cumberbatch :3. Ford ini adalah pendeta, majikan yang baik dan menghargai kerja keras budaknya. Platt pernah dikasih biola sebagai bentuk apresiasi karna mengusulkan pemindahan barang melalui jalur air.

    kiri ke kanan: Platt, Ford, Tibeats. Pic: Google
    Ford gak terlalu lama jadi majikan Platt karna beberapa hal. Ada satu waktu Platt sempat berantem sama Tibeats, asisten Ford yang jadi kepala tukang kayu. Platt sempet digantung sama Tibeats, tapi akhirnya gagal karna kepala pengawas, si Chapin, ngasih tau kalo Platt mau dijual sama Ford dan Tibeats gak bisa ngebunuh Platt karna udah ada transaksi. Sempet sih ada bagian aneh waktu Ford nyelametin Platt dari gantungannya, abis itu Platt dibawa kerumah Ford dan si Ford kayak ketakutan sampe megang senapan buat jaga-jaga mbok si Tibeats muncul lagi dan ngebunuh Platt. Kok ketakutan ya? Kan Ford bisa aja mecat si Tibeats dong kalo macem-macem? Apa emang dendam kulit putih terhadap kulit hitam sampe begitunya? Entahlah, untung aja akting Ben selalu bisa nyihir saya, jadi saya bisa tolerir. Wakwkkawk

    Abis itu sampelah dia ke Epps, Ford sempet bilang kalo ini orang gak manusiawi dan bangga sebagai penghancur negro. Wah gila emang si Epps, suka berlaku seenaknya sama budak. Aneh deh tengah malem pas budaknya lagi pada tidur dibangunin buat dansa. Udah gitu kocaknya dari sekian banyak budak yang dansa ada yang paling semangat, yaitu si Patsey, diperanin sama Lupita Nyong’O, dihantem pake botol bir sama istrinya Epps karna gak suka ngeliat si Patsey dansa. Entah apa alesannya, dia pengen Epps ngejual Patsey. Cemburu mungkin. Jadi gak hanya perilaku sewenang-wenang Epps yang ngewarnain kehidupan budaknya, tapi konflik rumah tangga juga masuk di dalamnya.

    Selama dibawah Epps, beberapa kali tentunya Platt sempet nyoba kabur. Percobaan kabur pertama gagal karna dia malah ketemu segerombolan kulit putih yang pengen ngehukum gantung dua budak negro. Gila, si Platt deg-degan parah dan dia ngaku kalo lagi disuruh belanja sama istrinya Epps. Akhirnya dibiarin pergi.

    Percobaan kedua kabur, gak se-eksplisit yang pertama sih. Yang ini dia nyoba buat ngirim surat ke Marksville, lewat budak kulit putih yang dihukum karna nyalahin kewenangan tempat dia kerja dulu sebagai pengawas, Armsby namanya. Armsby diminta Platt ngebantu dia ngirim surat itu dan dibayar lewat hasil main biola pas tinggal di Hakim Turner (kebun Epps diserang hama jadi budaknya dipindahkan sementara). Hasilnya adalah, Armsby ngekhianatin Platt dengan cerita semuanya ke Epps.

    Disamperin dah tuh si Platt sama Epps tengah malem. Tapi Platt ngejawab tuduhan itu dengan cerdas, “bagaimana saya bisa menulis surat tanpa tinta dan kertas? Untuk siapa aku menulis surat, tidak ada teman yang aku kenal. Armsby itu pembohong yang mabuk, bukankah dia mau kau menjadikannya pengawas? Dia ingin kau percaya kalau kita semua akan kabur. Dengan begitu kau akan menunjuk pengawas untuk mengawasi kami.” An excellent thought dan Epps percaya. Di adegan itu kita bisa liat sesama budak tapi beda warna kulit, selama ada kebencian terhadap perbedaan warna kulit di dalamnya, ia tetap mendukung sesamanya dan berkhianat terhadap orang yang udah ngasih kepercayaan kepadanya.

    Selama bertahun-tahun, budak negro di Epps akrab dengan hukuman cambukan. Kalo hasil metik kapas kurang dari 200 pons, hukumannya cambukan. Bahkan Patsey, selain dijadikan alat pemuas birahi Epss, dia juga pernah dicambuk karna Epps ngerasa dibohongin sama dia. Epps selalu menaruh kecurigaan pada budak negronya.

    Di akhir film diceritain setelah Solomon balik ke keluarganya berkat surat yang ditulis Mr. Bass (pekerja bangunan di rumah Epps, peduli perbudakan negro, diperanin sama Brad Pitt), Solomon nuntut orang-orang yang nyulik dan memperkerjakan dia sebagai budak. Sedihnya, hukum pada saat itu juga belum adil. Dia gak bisa bersaksi melawan orang kulit putih di pengadilan negeri. Setelah proses hukum yang panjang, penculiknya, Brown dan Hamilton juga lolos dari tuntutan. Akhirnya dia nulis buku "12 Years of Slave" tahun 1853 yang diadaptasi sama film ini. Dia jadi aktivis anti-perbudakan, dia juga ngisi kuliah tentang perbudakan, dan ngebantu pelarian budak lewat jalur kereta bawah tanah. Tapi kematian Solomon gak pernah diketahui persis tanggal, lokasi, dan penyebabnya sampe film ini dibuat:(

    Secara keseluruhan film ini nunjukkin kekerasan yang dialami budak negro dari awal sampe akhir: dicambuk, digebukin, ditaro besi dimulutnya (bagi yang melawan), disilet mukanya, dihukum gantung. Penculikan kaum kulit hitam yang dijadikan budak oleh kulit putih memang marak terjadi pada tahun 1840an.

    contoh hukuman gantung zaman dulu terhadap negro. jahat bgt jadi tontonan. sorry for the pic:(  pic: google.
    Menurut saya, film ini berhasil membuat saya iba. Karna film ini lebih ngambil sudut pandang penderitaan korban penculikan dan perbudakan, luka kekerasan yang ditampilin juga begitu vulgar dan mengerikan. 

    Beberapa kali saya juga nonton film perjuangan kulit hitam. Sebelumnya, tahun 2015 lalu saya sempat nonton film Selma, cerita tentang perjuangan Dr. Martin Luther King Jr. dan rekan-rekannya tahun 1965 untuk memperoleh hak pemilihan suara bagi kulit hitam di AS, dari kota kecil Selma ke ibu kota Montgomery. Udah cukup lama sih nontonnya dan gak akan saya ulas panjang jalan ceritanya disini. Yang saya inget, kayaknya saya sempat nangis nonton film ini akibat kehebatan akting David Oyewolo yang memerankan Dr. Martin Luther King Jr. Begitu total, menggebu-gebu, dan perjuangannya begitu mengharukan. Setiap usahanya dari diplomasi sampai turun ke jalan, menjadi ancaman buat orang kulit putih. Inget banget gimana di film itu mereka diperlakukan kasar sama pemerintahnya sendiri. Mereka yang terjun ke jalan digebukin sama polisi pake pukulan baseball yang dililitin kawat tajem berduri gitu:(

    Terlepas dari kekurangan filmnya, saya rasa pesan dalam kedua film ini─sebagai contoh film tentang perjuangan kulit hitam─nyampe banget ke penontonnya. Saya terpaku oleh cerita yang ditampilkan: penindasan, kekerasan, pelecehan, perjuangan untuk bertahan hidup. Film tersebut mampu membuat saya berpikir, "ini serius terjadi pada waktu itu? Kok ada manusia yang tega perlakuin manusia lain kayak hewan ternak hanya karna beda warna kulit yang jelas-jelas mereka gak minta warna kulit itu pada saat dilahrikan?!"

    Gosh, bulir keringat penderitaan mereka yang jatuh begitu nyata. Ada orang yang sampai begitu sulitnya untuk memperjuangkan hidup. Solomon Northup dan Martin Luther King Jr. adalah sebagian kecil dari mereka yang terdiskriminasi dan melawan diskriminasi itu untuk memperjuangkan kesetaraan dan hak hidupnya. Gak hanya untuk diri sendiri, tapi untuk orang banyak dan untuk anak-cucunya kedepan. Saya ingat satu quote Martin Luther King Jr., "I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin, but by the content of their character".

    Perjuangan mereka tak sekedar cikal-bakal pembuatan film atau bahkan trophy di berbagai ajang bergengsi. Jauh lebih dari itu, jika tidak ada perjuangan mereka rasisme akan warna kulit yang terjadi hari ini akan jauh lebih parah. Saya khawatir apa manusia yang warna kulitnya berbeda bisa bertahan di lingkungan yang terkotak-kotakkan ini. 

    Continue Reading
    ketawa ah. pic: google
    ada satu topik perbincangan yang begitu menggemaskan, juga tak kunjung kelar baik di dunia nyata maupun dunia maya. it's absolutely gender equal!

    bukan, saya bukan hendak membahas atau menebarkan benih-benih feminisme. bukan juga untuk memaparkan sejarah gerakan feminisme, atau aliran radikal, liberal, marxis, atau sosialis. tulisan saya gak akan seribet itu. saya cuma pengen nanya: di ujung tahun 2016, masih ada pria (bahkan kaum perempuannya juga) yang bilang cewek di rumah aja?

    basi gak sih bahas gender khususnya di kalangan mahasiswa? kesetaraan, ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat kita? saya kira itu udah basi lho. saya kira ditengah terpaan informasi yang secepat kilat udah pada ngerti konstruk sosial macem tu, makanya saya males ngomongin. hebatnya anak kelas saya yang namanya Ragil Yusasi, pernah ngadain semacam 'kuis' dadakan gitu di grup line kelas. pertanyaan doi simpel 1) apakah rumah tempat terbaik untuk perempuan? 2) laki-laki mengurusi daerah publik dan perempuan mengurusi daerah domestik, sepakat atau tidak? dan ternyata, hasilnya cukup membuat saya tertarik untuk menulisnya disini.

    beragam jawaban mengalir, saya scroll dari hulu ke hilir.

    jawaban panjang dan 'menarik' aja yang bakal saya tulis disini.


    1. "kalo w milihnya apartemen, yaa awal nikah biar pisah dari ortu dulu gitu. dan menurut w baik suami atau istri hidup di metropolitan mah harus sama-sama 'lecet dengkulnya'. dirasa udah mampu beli rumah, pindah dah ke rumah..." kata Grahambell.
    2. "tempat terbaik? kalo agamaku bilang begitu gil, tapi kalo aku kembali lagi ke kebutuhan masing-masing. kalo si perempuan itu harus menghidupi keluarganya karna cuma dia yang mampu ya keluar aja selama ngga berdampak buruk. terus kalo secara sosial dan perjodohan jaman sekarang kan gak ada yang mau nikahin kita gitu aja macem jaman nabi, ya kudu keluarlah cari", papar Wincessa.
    3. "kalo aku ya gil intinya pisah dari orang tua mau rumah/apartemen yg penting papan. kalo masalah ngurus rumah itu harus, kalo dia kerja juga takutnya dia punya penghasilan sendiri dan bisa semena-mena ke suaminya, walaupun itu bisa membantu keuangan keluarga, tapi aku mending ga usah kerja, dirumah aja, takutnya istri bisa nantangin suami lebih karena dia kerja dan punya penghasilan sendiri. istri juga harus berpendidikan minimal S1 biar bisa ngajarin anak lebbih baik", jelas Peter. trus ada yg nyaut "ih kayak omongan nenek aku ;)"
    4. yang ini panjang banget, saya singkat aja yah "kalo aku sih tempat terbaik apa aja yang penting jangan serumah sama orang tua. kalo budaya yang udah ditanemin keluargaku sih cewek harus bisa masak dan ngurus rumah tangga, tapi itu gak ada salahnya kalo perempuan ikut nyari duit selama kewajibannya sebagai istri gak dilupain, kalo gak cari alternatif bisa nambahin uang tapi dirumah (online shop, usaha catering) kan jadi sana-sini enak dan tentunya itu dukung suami tanpa nentang kewajiban jd seorang istri menurut budaya yg udah diajarkan" papar Ukraine.
    5. "tempat perempuan di rumah asalkan mapuluh juta masuk kantong istri tiap bulan wkwkwk kapan lagi bisa ngeliatin perkembangan anak secara full tapi masih bisa comat comot gak pake mikir, tapi kalo masih dua dijit ya bantulah suami, surga istri kan di bawah kaki suami, tapi perempuan kerja uangnya bukan buat bantu-bantu tapi kebutuhannya sendiri karena tetep aja kewajiban suami kan sandang pangan papan, kalo istri mau lebih juga gapapa sih" ungkap Daisy yang di copas oleh 3 rekan karibnya.
    6. "mungkin maksudnya ragil rumah tempat terbaik untuk perempuan itu stay di rumah, dan suami kerja.. menurut aku sih selama nyaman buat keduanya nggak jadi masalah.. mau suami di rumah istri kerja, suami kerja istri di rumah sama saja.. karena ketidaksetaraan gender terjadi kalau salah satu merasa didzalimi dan disakiti. kalau sama-sama nyaman, gak apa-apa. tapi kalo tempat terbaiknya sih, di luar rumah, ikut kerja.. karena urusan asuh anak bukan cuma tanggungjawab istri. hehe" Irscha menjelaskan paling akhir dalam grup.

    dari total 90 members di dalam grup, dengan total belasan jawaban saja, ke enam jawaban inilah yang paling panjang dan menarik. kalo saya lihat, 4 orang jawaban yang saya pilih ya cenderung memilih perempuan dirumah walaupun pakai embel-embel, "gak masalah kalo mau bantu suami" "ya gapapa asal gak berdampak buruk" (<- asumsi awalnya kalo perempuan kerja itu berdampak buruk ke keluarga). saya tetap menilai jawaban pertama mereka: dirumah, ngurus keluarga, kerja tanggungan suami. hanya 2 orang yang memang terbuka dan gak menjadikan itu masalah jika suami dan istri kerja memenuhi kebutuhannya. dan tau dong pasti jawaban yang pengen saya ulas panjang disini?

    yap, jawaban Peter! 

    "kalo aku ya gil intinya pisah dari orang tua mau rumah/apartemen yg penting papan. kalo masalah ngurus rumah itu harus, kalo dia kerja juga takutnya dia punya penghasilan sendiri dan bisa semena-mena ke suaminya, walaupun itu bisa membantu keuangan keluarga, tapi aku mending ga usah kerja, dirumah aja, takutnya istri bisa nantangin suami lebih karena dia kerja dan punya penghasilan sendiri. istri juga harus berpendidikan minimal S1 biar bisa ngajarin anak lebih baik", jelas Peter.

    Pete, seriously?! how could you marry someone that u cant trust???!!! do you loving a liar or are you just a distrustful person?!
    atau kamu memang memandang semua perempuan yang punya uang akan seperti itu? membangkang, beringas, dan kehilangan akal sehat jika bertemu dengan kertas legal bernama uang? separah itukah perempuan?

    gtw mz, aq jg bingung
    jujur, membaca jawaban peter membuat hati saya </////3. kepotek abis. dan indahnya, ada yang menyepakati walaupun itu omongan mbahnya.

    saya pernah membaca artikel tentang fenomena ketidakpercayaan, ketidaksukaan, dan apapun namanya, yang pada intinya mendiskriminasi perempuan, biasa disebut mysogyny.

    adalah kebencian atau tidak suka terhadap wanita atau anak perempuan. Misogini dapat diwujudkan dalam berbagai cara, termasuk diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual perempuan. Kebencian terhadap wanita dapat ditemukan dalam banyak mitologi dari dunia kuno serta berbagai agama.

    biar gampang nyatut dari kak wiki (asli saya gak nyari definisi kumplit sih, langsung baca kasus dan penelitiannya wkwk). jawabannya pete jelas banget kalau dia misoginis, atau menaruh ketidaksukaan terhadap perempuan. kalo emang percaya dan menghargai perempuannya yang bakal jadi pendamping hidupnya, ya gak perlu gitu dong?

    misogini macemnya banyak banget yakin deh kalau dijelasin disini mbleber-bleber. saya cuma pengen sangkutin hubungannya misogini sama perempuan di rumah.

    yang mau saya jelasin pertama adalah, pernikahan itu kesepakatan antara laki-laki dan perempuan itu sendiri. perempuan harus di rumah, ngurus anak, angetin sayur, dan kerjaan domestik lainnya, sedang laki-lakinya ke kantor, nyari duit, meeting,itu sebenernya gak ada aturan tertulisnya, gak ada hukumnya. itu konstruksi sosial yang udah nancep secara mapan dan berulang-ulang dikenalkan dari jaman nenek buyut kita. gender itu pure konstruksi sosial. yang ngebedain perempuan dengan laki-laki adalah fungsi biologisnya. laki-laki ngasih sperma, perempuan mengandung, melahirkan, dan menyusui bayinya. kalopun ada perbedaan fungsi otak, badan, itu masih keitung biologisnya. how come people thinks that gender is such a fate from god?!

    loh kalo perempuannya mau di rumah gimana? mereka nerima dan gak protes sama apa yang mereka jalani?

    kalo emang udah kesepakatan, i always support and appreciate every woman's decision. its good! itu berarti dia family oriented. saya pun gitu, saya sayang dan menjadikan keluarga sebagai prioritas utama (tapi belom kepikiran jadi ibu rumah tangga). kalo ngurus keluarga adalah pekerjaan yang membuatnya bahagia, silahkan dijalankan :)

    yang saya tekankan adalah, for god's sake, its not a fate. kerjaan itu masalah kapasitas otak. kalo perempuannya mau, sanggup, dan memang memilih untuk kerja diluar rumah ya let her go dong. nikah itu kesepakatan. kalo emang dari awal si laki maksa untuk ngatur perempuannya di rumah, harus ini itu, gak boleh kerja dengan alasan takut semena-mena dengan suaminya atau memandang perempuan takdirnya ngurus rumah, i tell u not to try marry him. sedih gak sih hidup dalam kungkungan gitu?

    perempuan di rumah itu (bila diharuskan dan kesepakatan sebelah pihak), menandakan bahwa power satu pihak (seringnya disini laki-laki) begitu besar dan darah patriarki masih begitu kental. memandang laki-laki superior dan perempuan inferior: "biar urusan luar abang yang bertarung! neng dirumah aja karna neng gak akan sanggup!". perempuan harus di rumah itu, tanda bahwa laki-laki tidak suka bila perempuannya blalabla, yang alasannya beragam.

    saya nulis ini, karena saya sedih sama pikiran laki-laki--dan sedihnya perempuannya juga mengamini--yang masih beranggapan posisi 'seharusnya' seperti itu. menjadi perempuan itu bukan pilihan. gak ada yg minta, gak ada yang kompromi. identitas ini ada bukan untuk dijadikan bahan percobaan, ejekan, atau penyematan berbagai nilai dan norma yang bahkan diciptakan tanpa persetujuan perempuan itu sendiri.

    saya dari dulu bermimpi, adanya kurikulum gender di sekolah-sekolah dasar. biar bocahan pada gak capek terkonstruk dari kecil. biar mereka nyadar sebenernya perempuan itu makhluk yang secara kapasitas sama dengan laki-laki. punya mimpi, punya otak. biar mereka tumbuh menjadi orang yang adil dan menghargai orang lain, khususnya perempuan.

    Purwokerto, 31 Desember 2016 05.23.
    udah mau tahun baru aja nih, gimana ngerayain tahun baruannya? gak di rumah aja kan? :p
    Continue Reading

    Malam itu, tepatnya 14 maret lalu, saya bersama lima rekan dari Unsoed berangkat menuju kota pelajar, Yogyakarta, dengan sebuah bus untuk menghadiri sekolah feminis yang diselenggarakan Perempuan Mahardika. Berbekal keberanian dan keinginan untuk belajar yang tinggi, kami berhasil menghantam dinginnya malam hingga akhirnya selamat sampai tujuan.
    Mari sedikit berkenalan dengan sekolah ini. Sekolah Feminis yang sudah didirikan sejak 2008 ini telah memiliki lima angkatan. Sekolah ini lahir karena gunungan masalah tentang ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Banyak wanita yang merasa “sudah menjadi takdir” apabila diperlakukan tidak setara dengan laki-laki. Berangkat dari permasalahan inilah Perempuan Mahardika berinisiatif untuk melakukan semacam penyadaran tentang feminisme, dengan target utamanya adalah kaum muda yang duduk di bangku universitas yang masih punya semangat membara untuk menegakkan keadilan gender ini. Dengan sasarannya kaum muda, diharapkan mampu menjadi landasan dasar bagi perluasan dan pertambahan bibit generasi feminis selanjutnya.
    Selama dua hari satu malam kami banyak mendapatkan materi, dan tak lupa disetiap materi diselipkan pula permainan edukatif yang tentu saja masih bersangkutan dengan materi yang disampaikan. Materi diawali dengan membahas permasalahan kaum muda perempuan, yang mungkin sadar atau tidak sadar sebenarnya kita (kaum perempuan) telah diperlakukan secara berbeda dalam arti dianggap tidak mampu untuk melakukan sesuatu. Pertanyaan besarnya adalah, perempuan adalah salah satu jenis manusia, sebagai kaum, tanpa melihat batas-batas geografis atau lingkup lingkungan tertentu mengapa dibedakan dengan laki-laki yang asalnya sama dengan perempuan? Apakah ada golongan tertentu yang mengonstruk pemikiran bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki dalam bidang apapun tanpa melihat faktanya secara langsung?
    Continue Reading

    Seumpama bunga

    Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh

    Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah

    Seumpama bunga

    Kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya

    Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi

    Seumpama bunga

    Kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri

    Jika kami bunga engkau adalah tembok

    Tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji

    Suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan:

    ENGKAU HARUS HANCUR

    Dalam keyakinan kami dimanapun-

    TIRANI HARUS TUMBANG!

    Continue Reading

    About me

    Photo Profile

    A Javanese. Such a Cumberbatch huge fan.

    Follow Me

    • facebook
    • twitter
    • youtube
    • pinterest
    • instagram

    Labels

    Proses pergolakan pemikiran

    recent posts

    Blog Archive

    • February 2017 (1)
    • January 2017 (1)
    • December 2016 (1)
    • April 2014 (1)
    • November 2013 (1)

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top