Sekolah Feminis: Belajar dan Bergerak!
10:10:00 AMMalam itu, tepatnya 14 maret lalu, saya bersama lima rekan dari Unsoed berangkat menuju kota pelajar, Yogyakarta, dengan sebuah bus untuk menghadiri sekolah feminis yang diselenggarakan Perempuan Mahardika. Berbekal keberanian dan keinginan untuk belajar yang tinggi, kami berhasil menghantam dinginnya malam hingga akhirnya selamat sampai tujuan.
Mari sedikit berkenalan dengan sekolah
ini. Sekolah Feminis yang sudah didirikan sejak 2008 ini telah memiliki lima
angkatan. Sekolah ini lahir karena gunungan masalah tentang ketidaksetaraan
antara laki-laki dan perempuan. Banyak wanita yang merasa “sudah menjadi
takdir” apabila diperlakukan tidak setara dengan laki-laki. Berangkat dari
permasalahan inilah Perempuan Mahardika berinisiatif untuk melakukan semacam
penyadaran tentang feminisme, dengan target utamanya adalah kaum muda yang
duduk di bangku universitas yang masih punya semangat membara untuk menegakkan
keadilan gender ini. Dengan sasarannya kaum muda, diharapkan mampu menjadi
landasan dasar bagi perluasan dan pertambahan bibit generasi feminis
selanjutnya.
Selama dua hari satu malam kami banyak
mendapatkan materi, dan tak lupa disetiap materi diselipkan pula permainan
edukatif yang tentu saja masih bersangkutan dengan materi yang disampaikan. Materi
diawali dengan membahas permasalahan kaum muda perempuan, yang mungkin sadar
atau tidak sadar sebenarnya kita (kaum perempuan) telah diperlakukan secara
berbeda dalam arti dianggap tidak mampu untuk melakukan sesuatu. Pertanyaan besarnya
adalah, perempuan adalah salah satu jenis manusia, sebagai kaum, tanpa melihat
batas-batas geografis atau lingkup lingkungan tertentu mengapa dibedakan dengan
laki-laki yang asalnya sama dengan perempuan? Apakah ada golongan tertentu yang
mengonstruk pemikiran bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki dalam
bidang apapun tanpa melihat faktanya secara langsung?
Rasa penasaran saya mulai terjawab ketika
materi ini mulai membahas tentang kesetaraan perempuan dan hambatannya, yang
merupakan topik favorit saya selama belajar di sekolah ini. Di materi ini
diceritakan awal mula pembedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari
perannya. Pertama adalah, adanya sistem patriarki. Patriarki yang berasal dari
bahasa Latin merupakan kombinasi dari kata pater
(bapak) dan arche (aturan), sehingga secara harfiah menjadi aturan ayah.
Beberapa orang khususnya kaum feminis mencoba untuk menjelaskannya secara
gamblang, yaitu sistem politik dan sosial dimana laki-laki dijadikan sentral
dalam setiap pengambilan kebijakan dan aturan yang ada, menyebabkan kaum
perempuan tersubordinasi atau menjadi kelas nomor dua. Beberapa masalah yang
dikemukakan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang kasusnya tak jauh
berbeda sejak zaman dahulu, telah membuktikan bahwa kentalnya sistem patriarki
dari zaman dahulu memang belum lepas hingga hari ini. Misalnya adalah kekerasan
dalam rumah tangga yang banyak berakhir dengan berbagai warna yang melekat pada
bagian tubuh perempuan, yang menandakan adanya kekerasan secara fisik yang
dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Belum lagi kekerasan verbal yang
menyakiti hati perempuan. Dari kedua tipe kekerasan terhadap itu menimbulkan
trauma yang mendalam bagi perempuan tersebut.
Tak berhenti sampai disitu, ada hal yang
sama menyedihkannya yaitu pembedaan pekerjaan dan upah pekerjaan antara
laki-laki dan perempuan. Kejadian seperti ini tampaknya sudah dialami wanita di
negeri kapitalis maju sejak zaman Perang Dunia II (1939), dimana pada saat
terjadi depresi ekonomi yang melanda Amerika Serikat dan berimbas ke seluruh belahan
dunia, membuat merosotnya kesempatan kerja dan perebutan bangku kerja dengan
sengit. Perempuan-perempuan yang kerja ini dijadikan sasaran kemarahan karena
dianggap telah mencuri pekerjaan laki-laki. Sebagi akibatnya, perempuan pada
masa ini yang dahulu sempat bekerja, terpaksa kehilangan pekerjaannya dan hanya
bisa di rumah mengurusi pekerjaan-pekerjaan rumah. Tahun-tahun tersebut adalah saat
kemenangan fasisme Jepang dan Jerman yang semakin memperburuk ketertindasan
perempuan.
Lantas bagaimana dengan upah yang
diperoleh? Ternyata masih saja ada pembedaan upah kerja laki-laki dan perempuan
di era modern seperti ini. Sebagai contoh di Amerika pada tahun 2012 lalu diadakan penelitian oleh Institut Penelitian
Kebijakan Perempuan (IWPR) yang memaparkan hasil penelitiannya bahwa
kesenjangan gender terkait upah tidak berhubungan dengan kaum perempuan
menginginkan pekerjaan lebih sedikit dari laki-laki. Mereka kerja bersama,
dengan jumlah jam yang sama. Namun di data tersebut menunjukkan bahwa sekitar
40 jenis pekerjaan umum, kaum pria hampir selalu mendapatkan upah lebih baik
daripada perempuan (Sumber: Antara). Sungguh memprihatinkan.
Di tengah keprihatinan akan ketimpangan
gender, perempuan sudah mulai disorot di media. Apakah hal tersebut menjadi
sebuah pertanda bahwa perempuan sudah mulai diakui keberadaannya? Tentu saja
tidak semudah itu.
Sejak zaman dahulu (bahkan hingga
sekarang) perempuan dijadikan objek penjualan barang-barang yang diperdagangkan
lewat media. Banyak iklan kecantikan yang memuat kriteria cantik; putih,
tinggi, langsing, hingga tidak ada noda sedikitpun di wajah. Kriteria yang
dibentuk—entah monster macam apa yang berhasil mengonstruk kriteria ini—sontak
membuat banyak perempuan menjadi lebih memperhatikan tubuhnya. Mulai dari
bentuk kuku, rambut, hingga seluruh tubuh dengan rela mengorbankan dirinya
untuk mengikuti pelbagai macam cara untuk melangsingkan badan. Dari cara
termudah hingga cara instan disajikan; membeli produk kecantikan! Dengan membeli
produk kecantikan, atau produk apapun yang mampu membuatnya tampak lebih
“cantik”, secara tak langsung perempuanlah yang menjadi komoditi pasar. Banyak
perempuan menjadi lebih memperhatikan penampilannya hingga goalnya adalah membeli produk tersebut. Penampilan perempuan sangat
menjual. Tak hanya dalam produk kecantikan, eksploitasi terhadap tubuh
perempuan ini juga dikemas dalam pelbagai iklan di media, dari mulai
barang-barang rumah hingga iklan-iklan yang menonjolkan sisi erotis dari tubuh
seorang perempuan seperti majalah orang dewasa hanya untuk memanjakan mata pembacanya
(yang terbanyak) adalah kaum laki-laki. Lagi-lagi perempuan, tubuhnya telah
dikeruk untuk kepentingan pasar yang didalangi oleh monster utama, para
kapitalis yang terus menerus mengeksploitasi apapun untuk profit oriented semata. Monster ini telah berhasil membuat
perempuan terjerembab dalam sebuah perlombaan yang tak lain garis finishnya adalah hanya untuk mendapatkan
perhatian dari orang lain.
Selama sistem kapitalisme dan patriarki
masih melekat, inilah yang menjadi halangan sekaligus tantangan untuk bisa menyetarakan
perempuan dengan laki-laki. Dari sinilah saya belajar untuk tidak terlalu
termakan iklan-iklan kecantikan, untuk lebih memperhatikan konten media yang
mengaitkan perempuan didalamnya, untuk lebih peduli terhadap perempuan yang
lain yang haknya terampas atau dirinya direndahkan oleh kaum lain dan
diturunkan menjadi aksi nyata. Banyak hal yang saya dapatkan di Sekolah Feminis
yang tidak bisa saya tuangkan seluruhnya disini dan saya rasa kegiatan kemarin
ini bisa menjadi bahan belajar, refleksi, dan bergerak kedepannya.
0 comments