![]() |
ketawa ah. pic: google |
bukan, saya bukan hendak membahas atau menebarkan benih-benih feminisme. bukan juga untuk memaparkan sejarah gerakan feminisme, atau aliran radikal, liberal, marxis, atau sosialis. tulisan saya gak akan seribet itu. saya cuma pengen nanya: di ujung tahun 2016, masih ada pria (bahkan kaum perempuannya juga) yang bilang cewek di rumah aja?
basi gak sih bahas gender khususnya di kalangan mahasiswa? kesetaraan, ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat kita? saya kira itu udah basi lho. saya kira ditengah terpaan informasi yang secepat kilat udah pada ngerti konstruk sosial macem tu, makanya saya males ngomongin. hebatnya anak kelas saya yang namanya Ragil Yusasi, pernah ngadain semacam 'kuis' dadakan gitu di grup line kelas. pertanyaan doi simpel 1) apakah rumah tempat terbaik untuk perempuan? 2) laki-laki mengurusi daerah publik dan perempuan mengurusi daerah domestik, sepakat atau tidak? dan ternyata, hasilnya cukup membuat saya tertarik untuk menulisnya disini.
beragam jawaban mengalir, saya scroll dari hulu ke hilir.
jawaban panjang dan 'menarik' aja yang bakal saya tulis disini.
Pete, seriously?! how could you marry someone that u cant trust???!!! do you loving a liar or are you just a distrustful person?!
atau kamu memang memandang semua perempuan yang punya uang akan seperti itu? membangkang, beringas, dan kehilangan akal sehat jika bertemu dengan kertas legal bernama uang? separah itukah perempuan?
jujur, membaca jawaban peter membuat hati saya </////3. kepotek abis. dan indahnya, ada yang menyepakati walaupun itu omongan mbahnya.
saya pernah membaca artikel tentang fenomena ketidakpercayaan, ketidaksukaan, dan apapun namanya, yang pada intinya mendiskriminasi perempuan, biasa disebut mysogyny.
biar gampang nyatut dari kak wiki (asli saya gak nyari definisi kumplit sih, langsung baca kasus dan penelitiannya wkwk). jawabannya pete jelas banget kalau dia misoginis, atau menaruh ketidaksukaan terhadap perempuan. kalo emang percaya dan menghargai perempuannya yang bakal jadi pendamping hidupnya, ya gak perlu gitu dong?
misogini macemnya banyak banget yakin deh kalau dijelasin disini mbleber-bleber. saya cuma pengen sangkutin hubungannya misogini sama perempuan di rumah.
yang mau saya jelasin pertama adalah, pernikahan itu kesepakatan antara laki-laki dan perempuan itu sendiri. perempuan harus di rumah, ngurus anak, angetin sayur, dan kerjaan domestik lainnya, sedang laki-lakinya ke kantor, nyari duit, meeting,itu sebenernya gak ada aturan tertulisnya, gak ada hukumnya. itu konstruksi sosial yang udah nancep secara mapan dan berulang-ulang dikenalkan dari jaman nenek buyut kita. gender itu pure konstruksi sosial. yang ngebedain perempuan dengan laki-laki adalah fungsi biologisnya. laki-laki ngasih sperma, perempuan mengandung, melahirkan, dan menyusui bayinya. kalopun ada perbedaan fungsi otak, badan, itu masih keitung biologisnya. how come people thinks that gender is such a fate from god?!
loh kalo perempuannya mau di rumah gimana? mereka nerima dan gak protes sama apa yang mereka jalani?
kalo emang udah kesepakatan, i always support and appreciate every woman's decision. its good! itu berarti dia family oriented. saya pun gitu, saya sayang dan menjadikan keluarga sebagai prioritas utama (tapi belom kepikiran jadi ibu rumah tangga). kalo ngurus keluarga adalah pekerjaan yang membuatnya bahagia, silahkan dijalankan :)
yang saya tekankan adalah, for god's sake, its not a fate. kerjaan itu masalah kapasitas otak. kalo perempuannya mau, sanggup, dan memang memilih untuk kerja diluar rumah ya let her go dong. nikah itu kesepakatan. kalo emang dari awal si laki maksa untuk ngatur perempuannya di rumah, harus ini itu, gak boleh kerja dengan alasan takut semena-mena dengan suaminya atau memandang perempuan takdirnya ngurus rumah, i tell u not to try marry him. sedih gak sih hidup dalam kungkungan gitu?
perempuan di rumah itu (bila diharuskan dan kesepakatan sebelah pihak), menandakan bahwa power satu pihak (seringnya disini laki-laki) begitu besar dan darah patriarki masih begitu kental. memandang laki-laki superior dan perempuan inferior: "biar urusan luar abang yang bertarung! neng dirumah aja karna neng gak akan sanggup!". perempuan harus di rumah itu, tanda bahwa laki-laki tidak suka bila perempuannya blalabla, yang alasannya beragam.
saya nulis ini, karena saya sedih sama pikiran laki-laki--dan sedihnya perempuannya juga mengamini--yang masih beranggapan posisi 'seharusnya' seperti itu. menjadi perempuan itu bukan pilihan. gak ada yg minta, gak ada yang kompromi. identitas ini ada bukan untuk dijadikan bahan percobaan, ejekan, atau penyematan berbagai nilai dan norma yang bahkan diciptakan tanpa persetujuan perempuan itu sendiri.
saya dari dulu bermimpi, adanya kurikulum gender di sekolah-sekolah dasar. biar bocahan pada gak capek terkonstruk dari kecil. biar mereka nyadar sebenernya perempuan itu makhluk yang secara kapasitas sama dengan laki-laki. punya mimpi, punya otak. biar mereka tumbuh menjadi orang yang adil dan menghargai orang lain, khususnya perempuan.
Purwokerto, 31 Desember 2016 05.23.
udah mau tahun baru aja nih, gimana ngerayain tahun baruannya? gak di rumah aja kan? :p
beragam jawaban mengalir, saya scroll dari hulu ke hilir.
jawaban panjang dan 'menarik' aja yang bakal saya tulis disini.
- "kalo w milihnya apartemen, yaa awal nikah biar pisah dari ortu dulu gitu. dan menurut w baik suami atau istri hidup di metropolitan mah harus sama-sama 'lecet dengkulnya'. dirasa udah mampu beli rumah, pindah dah ke rumah..." kata Grahambell.
- "tempat terbaik? kalo agamaku bilang begitu gil, tapi kalo aku kembali lagi ke kebutuhan masing-masing. kalo si perempuan itu harus menghidupi keluarganya karna cuma dia yang mampu ya keluar aja selama ngga berdampak buruk. terus kalo secara sosial dan perjodohan jaman sekarang kan gak ada yang mau nikahin kita gitu aja macem jaman nabi, ya kudu keluarlah cari", papar Wincessa.
- "kalo aku ya gil intinya pisah dari orang tua mau rumah/apartemen yg penting papan. kalo masalah ngurus rumah itu harus, kalo dia kerja juga takutnya dia punya penghasilan sendiri dan bisa semena-mena ke suaminya, walaupun itu bisa membantu keuangan keluarga, tapi aku mending ga usah kerja, dirumah aja, takutnya istri bisa nantangin suami lebih karena dia kerja dan punya penghasilan sendiri. istri juga harus berpendidikan minimal S1 biar bisa ngajarin anak lebbih baik", jelas Peter. trus ada yg nyaut "ih kayak omongan nenek aku ;)"
- yang ini panjang banget, saya singkat aja yah "kalo aku sih tempat terbaik apa aja yang penting jangan serumah sama orang tua. kalo budaya yang udah ditanemin keluargaku sih cewek harus bisa masak dan ngurus rumah tangga, tapi itu gak ada salahnya kalo perempuan ikut nyari duit selama kewajibannya sebagai istri gak dilupain, kalo gak cari alternatif bisa nambahin uang tapi dirumah (online shop, usaha catering) kan jadi sana-sini enak dan tentunya itu dukung suami tanpa nentang kewajiban jd seorang istri menurut budaya yg udah diajarkan" papar Ukraine.
- "tempat perempuan di rumah asalkan mapuluh juta masuk kantong istri tiap bulan wkwkwk kapan lagi bisa ngeliatin perkembangan anak secara full tapi masih bisa comat comot gak pake mikir, tapi kalo masih dua dijit ya bantulah suami, surga istri kan di bawah kaki suami, tapi perempuan kerja uangnya bukan buat bantu-bantu tapi kebutuhannya sendiri karena tetep aja kewajiban suami kan sandang pangan papan, kalo istri mau lebih juga gapapa sih" ungkap Daisy yang di copas oleh 3 rekan karibnya.
- "mungkin maksudnya ragil rumah tempat terbaik untuk perempuan itu stay di rumah, dan suami kerja.. menurut aku sih selama nyaman buat keduanya nggak jadi masalah.. mau suami di rumah istri kerja, suami kerja istri di rumah sama saja.. karena ketidaksetaraan gender terjadi kalau salah satu merasa didzalimi dan disakiti. kalau sama-sama nyaman, gak apa-apa. tapi kalo tempat terbaiknya sih, di luar rumah, ikut kerja.. karena urusan asuh anak bukan cuma tanggungjawab istri. hehe" Irscha menjelaskan paling akhir dalam grup.
dari total 90 members di dalam grup, dengan total belasan jawaban saja, ke enam jawaban inilah yang paling panjang dan menarik. kalo saya lihat, 4 orang jawaban yang saya pilih ya cenderung memilih perempuan dirumah walaupun pakai embel-embel, "gak masalah kalo mau bantu suami" "ya gapapa asal gak berdampak buruk" (<- asumsi awalnya kalo perempuan kerja itu berdampak buruk ke keluarga). saya tetap menilai jawaban pertama mereka: dirumah, ngurus keluarga, kerja tanggungan suami. hanya 2 orang yang memang terbuka dan gak menjadikan itu masalah jika suami dan istri kerja memenuhi kebutuhannya. dan tau dong pasti jawaban yang pengen saya ulas panjang disini?
yap, jawaban Peter!
"kalo aku ya gil intinya pisah dari orang tua mau rumah/apartemen yg penting papan. kalo masalah ngurus rumah itu harus, kalo dia kerja juga takutnya dia punya penghasilan sendiri dan bisa semena-mena ke suaminya, walaupun itu bisa membantu keuangan keluarga, tapi aku mending ga usah kerja, dirumah aja, takutnya istri bisa nantangin suami lebih karena dia kerja dan punya penghasilan sendiri. istri juga harus berpendidikan minimal S1 biar bisa ngajarin anak lebih baik", jelas Peter.
Pete, seriously?! how could you marry someone that u cant trust???!!! do you loving a liar or are you just a distrustful person?!
atau kamu memang memandang semua perempuan yang punya uang akan seperti itu? membangkang, beringas, dan kehilangan akal sehat jika bertemu dengan kertas legal bernama uang? separah itukah perempuan?
![]() |
gtw mz, aq jg bingung |
saya pernah membaca artikel tentang fenomena ketidakpercayaan, ketidaksukaan, dan apapun namanya, yang pada intinya mendiskriminasi perempuan, biasa disebut mysogyny.
adalah kebencian atau tidak suka terhadap wanita atau anak perempuan. Misogini dapat diwujudkan dalam berbagai cara, termasuk diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual perempuan. Kebencian terhadap wanita dapat ditemukan dalam banyak mitologi dari dunia kuno serta berbagai agama.
biar gampang nyatut dari kak wiki (asli saya gak nyari definisi kumplit sih, langsung baca kasus dan penelitiannya wkwk). jawabannya pete jelas banget kalau dia misoginis, atau menaruh ketidaksukaan terhadap perempuan. kalo emang percaya dan menghargai perempuannya yang bakal jadi pendamping hidupnya, ya gak perlu gitu dong?
misogini macemnya banyak banget yakin deh kalau dijelasin disini mbleber-bleber. saya cuma pengen sangkutin hubungannya misogini sama perempuan di rumah.
yang mau saya jelasin pertama adalah, pernikahan itu kesepakatan antara laki-laki dan perempuan itu sendiri. perempuan harus di rumah, ngurus anak, angetin sayur, dan kerjaan domestik lainnya, sedang laki-lakinya ke kantor, nyari duit, meeting,itu sebenernya gak ada aturan tertulisnya, gak ada hukumnya. itu konstruksi sosial yang udah nancep secara mapan dan berulang-ulang dikenalkan dari jaman nenek buyut kita. gender itu pure konstruksi sosial. yang ngebedain perempuan dengan laki-laki adalah fungsi biologisnya. laki-laki ngasih sperma, perempuan mengandung, melahirkan, dan menyusui bayinya. kalopun ada perbedaan fungsi otak, badan, itu masih keitung biologisnya. how come people thinks that gender is such a fate from god?!
loh kalo perempuannya mau di rumah gimana? mereka nerima dan gak protes sama apa yang mereka jalani?
kalo emang udah kesepakatan, i always support and appreciate every woman's decision. its good! itu berarti dia family oriented. saya pun gitu, saya sayang dan menjadikan keluarga sebagai prioritas utama (tapi belom kepikiran jadi ibu rumah tangga). kalo ngurus keluarga adalah pekerjaan yang membuatnya bahagia, silahkan dijalankan :)
yang saya tekankan adalah, for god's sake, its not a fate. kerjaan itu masalah kapasitas otak. kalo perempuannya mau, sanggup, dan memang memilih untuk kerja diluar rumah ya let her go dong. nikah itu kesepakatan. kalo emang dari awal si laki maksa untuk ngatur perempuannya di rumah, harus ini itu, gak boleh kerja dengan alasan takut semena-mena dengan suaminya atau memandang perempuan takdirnya ngurus rumah, i tell u not to try marry him. sedih gak sih hidup dalam kungkungan gitu?
perempuan di rumah itu (bila diharuskan dan kesepakatan sebelah pihak), menandakan bahwa power satu pihak (seringnya disini laki-laki) begitu besar dan darah patriarki masih begitu kental. memandang laki-laki superior dan perempuan inferior: "biar urusan luar abang yang bertarung! neng dirumah aja karna neng gak akan sanggup!". perempuan harus di rumah itu, tanda bahwa laki-laki tidak suka bila perempuannya blalabla, yang alasannya beragam.
saya nulis ini, karena saya sedih sama pikiran laki-laki--dan sedihnya perempuannya juga mengamini--yang masih beranggapan posisi 'seharusnya' seperti itu. menjadi perempuan itu bukan pilihan. gak ada yg minta, gak ada yang kompromi. identitas ini ada bukan untuk dijadikan bahan percobaan, ejekan, atau penyematan berbagai nilai dan norma yang bahkan diciptakan tanpa persetujuan perempuan itu sendiri.
saya dari dulu bermimpi, adanya kurikulum gender di sekolah-sekolah dasar. biar bocahan pada gak capek terkonstruk dari kecil. biar mereka nyadar sebenernya perempuan itu makhluk yang secara kapasitas sama dengan laki-laki. punya mimpi, punya otak. biar mereka tumbuh menjadi orang yang adil dan menghargai orang lain, khususnya perempuan.
Purwokerto, 31 Desember 2016 05.23.
udah mau tahun baru aja nih, gimana ngerayain tahun baruannya? gak di rumah aja kan? :p